Monday, March 27, 2017

JOGLO JAWA KLASIK

Sebuah rumah joglo tampak berdiri megah di atas pekarangan. Itulah rumah joglo milik budayawan Prof Dr Suminto A Sayuti. Rumah bercitarasa klasik ini tampil estetis berkolaborasi dengan model bangunan modern yang melingkupinya.

Rumah pokok ukuran 10 meter x 8 meter sedangkan pendoponya 9 meter x 10 meter. Pada bagian pintu masuk ruangan dalam joglo, gambar ukir dewa mambang(dewa putih) yang merupakan raksasa penjelmaan Puntadewa dan dewa Brahala(dewa hitam) yang merupakan raksasa penjelmaan dari Kresna.

Saya memang mengagumi kedua tokoh tersebut.Namun yang lebih penting dari itu makna yang terkandung di dalamnya. Melalui 2 simbol tokoh wayang tersebut saya ingin mengatakan bahwa hidup itu tidak sekedar hitam putih. Hidup itu merupakan pertemuan keduanya.


Di dalam ruangan pendopo yang cukup luas, juga tampak seperangkat gamelan serta kelir untuk pentas wayang. Tergelarnya kehidupan bukan pada bagian wayang yang dijajar di samping kanan dan kiri. Namun setelah gunungan dicabut, blencong menyala dan wayang sudah berada di kelir tengah. itulah makna kehidupan yang sesungguhnya.

Joglo berasal dari kerangka bangunan utama dari rumah adat Jawa terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya.

Sebuah sumber menyebutkan, rumah joglo bukan hanya sekedar konstruksi rumah belaka, namun juga hadir sebagai seni konstruksi. Joglo juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Keindahan menjadi inti dari rumah joglo selain sikap religiusitasnya. Itu semua terefleksi dalam arsitektur rumah joglo.

Pada prinsipnya, susunan ruangan pada joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri, senthong tengah dan senthong kanan.

Filosofi Rumah Joglo
"Contohnya ketika saya membuat tumpang sari untuk pendopo. Di samping kanan 9, samping kiri 9, jadi tumpangsari yang saya buat itu maknanya 99"

Rumah yang dalam bahasa jawa omah maknanya merupakan tempat membangun semah(suami istri). "Rumah juga merupakan tempat bertemu baik secara horisontal (dengan keluarga) dan vertikal (dengan Tuhan). Rumah juga merupakan simbol tentang asal usul,sangkan paran maupun simbol kefanaan".

Saat akan masuk rumah, ada yang namanya gerbang masuk (regol). "Regol itu maknanya awal mula kita membuka halaman kehidupan".
Dalam rumah joglo milik Prof Suminto ini juga menyematkan lampu (dian gantung) yang khas model klasik. "Dian atau lampu itu pada prinsipnya merupakan sumber cahaya. Dengan menempatkan dian atau lampu di dalam rumah, maknanya bahwa dalam hidup kita tidak pernah berharap kegelapan namun supaya hidup kita terang".





Friday, March 24, 2017

NDALEM NATAN : AKulturasi Citarasa Jawa Eropa

Rumah kuno tampak kokoh berdiri di Jalan Mondorakan No 5 Kotagede Yogyakarta. Pendoponya yang khas tampak tinggi menjulang bertuliskan angka tahun 1857. Akibat gempa 27 Mei 2006, sebagian besar bangunan ini rusak. Namun setelah 4 tahun direnovasi, kini bangunan tersebut sudah berdiri megah dengan arsitektur yang tetap mempertahankan seperti bangunan aslinya.

Rumah kuno ini memang unik dan khas. Arsitektur di rumah ini merupakan kombinasi antara arsitektur Jawa dengan model simbol-simbol, gaya Eropa dengan penggunaan bahan bangunan dari logam besi dan aluminium. Selain itu juga ada ornamen-ornamen yang bernuansa Islam dan Cina.


Rumah ini merupakan konservasi dan olah desain dari bangunan pusaka ex Ndalem Proyodanan. Menurut Nasir, rumah ini dulunya dimiliki oleh orang yang sangat kaya. Punya bisnis batik, perak, perhiasan emas. Bisnisnya juga tidak hanya lokal tetapi sudah merambah ke wilayah internasional. Hal tersebut tergambar dalam beberapa bagian rumah yang kental dengan gaya arsitektur Eropa. 

"Beberapa contoh simbol misalnya ada 4 garis tegak lurus di pintu yang merupakan 4 simbol unsur dalam kehidupan ini yakni unsur angin, air, api dan tanah. Ada juga simbol bunga kul yang melambangkan qolbu(hati)".

Gaya arsitektur bangunan rumah ini, lanjut Nasir memang luar biasa. Salah satu contohnya tentang konsep ruangan dengan plafon tinggi. Kalau plafon tinggi, otomatis ruangan menjadi sejuk karena sirkulasi udaranya bagus.

Tuesday, March 14, 2017

Rumah Klasik Jawa Kolonial

Terletak di kawasan wisata Yogya selatan yakni di Jalan Tirtodipuran Mantrijeron Yogyakarta, rumah ini bisa dibilang unik dan nyentrik. Jika dirunut dari sisi arsitekturnya, bangunan depan seperti rumah khas Jawa pada umumnya yakni bentuk model limasan. Namun, tidak sepenuhnya bergaya Jawa. Ada sisi dan sudut-sudut ruangan yang kental dengan bangunan khas kolonial yakni karakter tembok atau dinding yang tinggi sehingga membuat suasana rumah menjadi dingin dan sejuk tanpa harus menyematkan perangkat AC.
"Rumah ini dibangun tahun 1960-an. Kalau ciri khas bangunan pada masa kolonial lainnya yakni gaya dinding yang tebal. Dulu ada aturan kalau membuat rumah harus 1,5 bata. Dan efeknya memang terasa di dalam rumah menjadi sejuk. Rumah ini saya beli tahun 1989," ungkap pemilik rumah berkonsep Jawa Kolonial, Sinta Ravitasari.
Bagi Sinta dan suaminya, rumah tidak sekedar sebagai tempat tinggal semata namun juga sebuah kenyamanan yang tercipta dari seluruh kondisi rumah. Maka Sinta pun menghadirkan rumah Jawa Kolonial yang nyentrik. Karena dirinya sejak lama menekuni hobi dan bisnis barang-barang antik, maka di dalam rumahnya pun banyak ditemui berbagai perabot barang antik. Mulai dari meja, kursi, almari hingga tempat tidur.
"Saya punya tempat tidur antik gaya Cina maupun tempat tidur antik model Jawa. Kemudian berbagai pernak-pernik hiasan dari berbagai negara juga saya pajang di rumah ini. Pernak-pernik hiasan ini saya dapat saat saya sedang perjalanan bisnis ke luar negeri".


 Selain sebagai upayanya untuk melestarikan seni arsitektur tempo dulu, Sinta juga ingin rumahnya menjadi media bertegur sapa berbagai budaya yang ada di belahan dunia. "Yang saya simpan di rumah ini merupakan berbagai barang antik dari berbagai budaya dan juga negara. Saya sangat welcome kepada siapa pun saja yang bertamu ke rumah saya untuk mempelajari berbagai barang antik koleksi saya," ungkap Sinta.
Kiprah Sinta di dunia barang antik bukan waktu yang sebentar. Sejak masih muda, Sinta sudah cinta dengan barang-barang antik. Berawal dari bisnis barang antik ke berbagai negara di antaranya di Perancis, Maroko hingga Hongaria, akhirnya Shinta tercetus ide untuk melestarikan dan merawat barang-barang antik agar tidak banyak yang lari keluar negeri.

"Saya tidak ingin barang-barang antik yang merupakan sejarah masa lalu ini hanya tinggal cerita saja. Kalau butuh ingin melihatnya harus pergi ke luar negeri. Maka, ketika saya dapat barang antik yang langka dan istimewa, saya koleksi dan saya simpan di rumah ini," jelas Sinta.
Kemudian rumah ini juga dihiasi berbagai karya lukisan dari dalam dan luar negeri. Ada yang dari kampus ISI, kemudian dari Australia, Hongaria maupun dari Amerika.


Rumah unik yang juga difungsikan sebagai galery ini dinding luarnya dicat warna hijau. Karakter warna ini menyatu dengan tanaman perindang yang tumbuh di depan rumah. Pintu dan jendela kaca menegaskan bahwa rumah ini sangat terbuka buat siapa saja yang ingin bertandang untuk menikmati keindahan barang maupun perabot antik di dalamnya.

Di dalam rumah Sinta terbagi dalam beberapa sekat  ruangan. Dari depan, ruangan kamar tamu kemudian di sisi tengah rumah ada sekat taman berkonsep outdoor yang dihiasi beberapa meja dan kursi. Sisi belakang taman ada kamar tidur yang dibangun 2 lantai. Samping taman merupakan dapur yang digabung dengan ruang makan.

Ada suasana nyaman saat berkunjung di rumah ini. Sejauh mata memandang, perabot antik tampak tertata rapi di berbagai sudut ruangan. Ada wayang, almari antik hingga peralatan minum minum masa lalu yang masih tampak bersih dan mengkilap. Perabot istimewa lainnya, ada meja taman yang bahannya merupakan kayu fosil yang mempunyai guratan-guratan artistik.
Berkat keunikan rumah saya ini, banyak relasi tamu dari luar negeri yang ingin melihat suasana rumah ini dari dekat. Kalau mereka datang ke sini, mereka banyak yang mengapresiasi suasana rumah yang sejuk, nyaman namun tetap artistik.

Monday, March 13, 2017

Kolaborasi Rumah Jawa - Sunda

 SEBUAH pendopo megah berada di depan rumah. Di dalam kompleks pendopo ada 2 sepeda onthel klasik yang terpajang rapi. Menuju pintu masuk rumah, ada patung punokawan gareng petruk menyambut ramah. Rumah milik Tonny Andriyansyah ini merupakan rumah cinta yang mengkolaborasikan budaya Jawa dan Sunda.

 "Kalau dari bentuk rumahnya saya memang mengkonsep rumah Jawa klasik yakni gabungan bentuk limasan dan pendopo. Namun dari sisi asesoris yang ada di dalamnya, selain bernuansa Jawa juga ada yang style Sunda"

Rumah yang berlokasi di Jalan Wates km 12,5 dusun Semampir RT 07 Argorejo Sedayu Bantul Yogyakarta ini mulai dibangun tahun 2009. Menempati suasana pedesaan yang sejuk, rumah ini terlihat apik dan nyentrik. "Meski bernuansa klasik, namun sisi gaya modern juga ditampakkan dalam penggunaan material kaca blok depan, gipsum dan lantai granit"

Selain bentuk rumah, gaya Jawa juga Tonny wujudkan dalam bentuk hiasan wayang, keris dan patung-patung. Sedangkan gaya Sundanya diekspresikan dengan penempatan angklung di ruang tamu serta busur dan anak panah yang dijadikan hiasan dinding ruang tamu.



Hal menarik lainnya juga ditunjukkan dengan penggunaan perabot dari kayu bekas. Meski didapatkan dari material bekas namun setelah dipermak, tampilan pun menjadi lebih berkelas, tak kalah dengan furniture model-model baru. Salah satunya perabot dari bahan kayu bekas yakni mini bar angkringan.

Agar tampilan style rumah unik dan beda, saya juga sengaja menonjolkan dinding rumah yang mengekspos batu bata. Ada juga penggunaan batu kali maupun batu candi. Untuk menambah estetis tampilan dinding rumah, saya menggunakan kayu-kayu bekas cor yang saya haluskan untuk kemudian dipasang sebagai aksen dinding ruangan.

RUMAH MELAYU DI DESA LABASAN YOGYA

 
Jalan setapak dengan trek menanjak masih tampak basah oleh embun. Udara yang khas desa lereng Merapi menyambut ramah saat tapak kaki menginjakkan regol gerbang dengan tatanan arsitektur asri. Sebuah bangunan berbentuk joglo yang berada di samping kanan dan kiri langsung menyambut. Menariknya lagi, kedua bangunan tersebut selain kental dengan citarasa klasik juga menawarkan pemandangan arsitektur yang unik. Di sisi kanan, merupakan bangunan rumah limasan khas Demak yang bentuknya mirip dengan joglo. Sedangkan di sisi kiri, bangunan joglo dengan desain sendiri yang dikonsep tanpa menggunakan tiang tengah tampak berdiri megah.

Itulah suasana menarik saat memasuki kawasan kampung Labasan Tropical Resort yang berlokasi di Jalan Kaliurang km 17,5 dusun Paraksari Pakembinangun Pakem Sleman Yogyakarta. Kawasan ini juga merupakan perlintasan jalur wisata Candi Borobudur-wisata Kaliurang-Lava Tour Gunung Merapi-Candi Prambanan. "Bangunan joglo yang ada di samping kiri pintu masuk ini sengaja saya bikin beda karena tidak menggunakan tiang tengah. Tujuannya sederhana. Saya hanya ingin kondisi ruangan di tengah joglo jadi terlihat lapang tapi dengan desain arsitektur yang unik. Jadilah joglo ini dengan konsep bangunan tanpa menggunakan tiang tengah"

Sejarah berdirinya Kampung Labasan Tropical Resort, menurut Siti berawal dari mebel antik yang dimilikinya. "Tahun 2010, setelah Merapi meletus, saya sudah punya rumah Melayu di Jombor kemudian saya pindahkan ke sini. Dulu kawasan ini awalnya masih berupa persawahan dengan luas lahan sekitar 1200 m2"


Destinasi Wisata

Sangat pas jika kawasan Kampung Labasan Tropical Resort ini sebagai Miniatur Indonesia. Pasalnya, beragam rumah arsitektur klasik khas dari berbagai daerah ada di sini. Selain rumah limasan Demak dan Melayu, ada juga rumah Kudus, rumah Badui hingga rumah Jineman. Selain konsep resto, Kampung Labasan Tropical Resort juga merupakan destinasi wisata yang meracik pariwisata dan edukasi berbasis alam dan tradisi dalam satu kemasan wisata yang berbeda.

Saat masuk ke dalam kawasan, udara sejuk khas pegunungan berpadu suara gemericik air membuat siapa pun saja akan betah berlama-lama. Di tengah kawasan, sebuah kolam dengan air bening bertabur pemandangan ratusan ikan berenang gesit saling berkejaran. Samping kolam ada jalan setapak yang di pinggirnya terdapat beberapa gazebo dan pergola. Jalan setapak itulah yang jadi jalur utama berkeliling kawasan untuk menikmati berbagai keindahan rumah-rumah tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.

Pandangan pertama melintasi jalan setapak, tampak sebuah rumah khas Melayu. Seluruh bangunannya dari bahan kayu. Menurut paparan Siti, rumah Melayu ini memang asli rumah miliknya yang ia boyong dari Lampung. "Rumah ini dulunya kena gempa kemudian mengalami perbaikan sebagian.Kayu untuk rumah Melayu ini dari jenis kayu keras yang dikenal dengan nama kayu besi. Karakter khas dari rumah Melayu itu pada sisi relief, teras dan juga interiornya".

Setelah rumah Melayu, di sampingnya tampak sebuah rumah Kudus yang dikelilingi kolam disusul di sampingnya lagi rumah khas Badui. Untuk membuat rumah Badui, lanjut Siti idenya mengalir saja. Dari gambar kemudian dimintakan kepada tukang untuk mengaplikasikan wujud bangunannya. "Rumah Badui itu ciri khasnya atapnya meruncing. Aslinya bentuk rumah Badui mengarah ke bentuk lumbung padi. Namun di sini, kondisi atap saya ubah tidak lagi seperti versi aslinya tetapi saya gunakan atap genting".

Kemudian bangunan unik lainnya yakni rumah Jineman, Rumah ini filosofinya lumbung padi, rumahnya Dewi Sri. Kemudian karena di Jawa, maka rumah Jineman kami torehkan warna-warna khas kraton yakni kuning, hijau.

Friday, March 10, 2017

MERACIK KAYU LIMBAH





Tampilan atapnya biasa saja. Hanya menggunakan atap dari bahan seng. Namun kesan nyentrik dengan citarasa seni tinggi langsung terasa saat berada di depan pintu warung. Ada patung lelaki tua mengenakan blangkon baju surjan berselempang kain sarung. Di sisi lainnya ada gong besar terpajang di tiang serta dua sangkar burung perkutut yang digantangkan di samping pintu utama. Saat masuk selangkah ke dalam warung, pengunjung telah disuguhi pemandangan tak biasa. 

Sebuah tampilan gaya modern bentuk wastafel diapit tiang kayu kandang sapi khas nuansa desa. Ada pula papan dengan tulisan menggelitik Gubuk Reyot Ruang Reuni & Pertemuan. Itulah kejutan menarik saat singgah di warung bakmi Mbah Gito yang berlokasi di Jalan Nyi Ageng Nis Rejowinangun RT 29/RW 09 Peleman Depokan Kotagede Yogyakarta.
Begitu masuk ke dalam warung, suguhan bangunan seni tampak terpajang di sana-sini. Berbagai perabot khas pedesaan mulai dari peralatan pertanian hingga wayang dan gamelan tertata rapi. "Dulu bikin bangunan warung dengan konsep ini sebenarnya berangkat dari ide sederhana saja. Saya itu kan orang desa. Maka saya ingin menampilkan warung saya dengan konsep arsitektur bangunan yang nyentrik seni namun tidak menghilangkan unsur ndeso. Kemudian pertimbangan lainnya menu warung saya ini menu tradisional khas desa juga. Jadi klopnya dengan model bangunan warung nuansa ndeso," jelas pemilik warung bakmi Mbah Gito.




"Contohnya saya dulu punya kandang sapi karena waktu kecil saya memelihara sapi. Karena sekarang sudah tidak lagi memelihara sapi, maka kandang sapi daripada tidak terpakai kemudian jadi ide menarik untuk saya aplikasikan ke dalam bangunan warung. Saya punya 2 kandang, kemudian 2 kandang lainnya saya dapatkan dari Wonosari. Kayu-kayu yang  terpasang juga memanfaatkan dari kayu limbah yang sudah tidak terpakai" .
Untuk memperkuat kesan klasik dan ndesa, Sugito juga memajang lampu klasik, radio jadul hingga genta sapi. Dinding warung dari lembaran anyaman bambu juga terlihat menarik dengan pajangan beragam peralatan pertanian. Ada bajak, sabit, alat pemasah kayu, gergaji. 

"Proses pemotongan kayu butuh seni tersendiri. Pasalnya kayu-kayu ini merupakan kayu limbah yang bentuknya tak beraturan. Sebagian besar bahan kayu merupakan kayu nangka. Selain alat pertanian, di papan warung juga saya sematkan tulisan Jawa. Bahkan kendi pun saya sediakan di sini. Zaman dulu, kendi ada di setiap rumah sebagai tempat menampung air minum. Sekarang di rumah-rumah sudah jarang ditemukan kendi" .




Untuk lebih meningkatkan daya tarik bagi  pengunjung, saat malam hari seluruh karyawan warungnya yang laki-laki mengenakan blangkon dan surjan sedangkan yang perempuan mengenakan kebaya. Banyaknya pengunjung dalam setiap hari yang datang ke warungnya merupakan berkah dari jerih payah ketekunan dan ide kreatifnya selama ini. 
Bergelut di bisnis kuliner bakmi memang telah lama ditekuni Sugito sejak masih muda. Dulu sempat berhenti karena kerja di pasar Beringharjo Yogyakarta. Kemudian buka lagi. Usaha warung bakmi yang dirintisnya sejak Juli 2008, sempat hampir tutup di tahun 2011. Namun berkat kegigihan, ketekunan dan juga dukungan dari teman-teman komunitas, akhirnya Sugito mampu bangkit kembali dan meraih sukses hingga saat ini."Setiap malam minggu, di sini ada pentas seni karawitan Gito Laras. Sedangkan kalau ada event atau momentum tertentu, di sini juga saya gelar pertunjukan wayang" .

Thursday, March 9, 2017

Megah dari Limbah

SINAR matahari sore tampak menerobos di sela-sela ventilasi udara dan jendela yang terbuka. Hiasan dinding dan perabot rumah tangga dari kayu-kayu limbah bernilai seni tampak tertata rapi. Batas  masing-masing ruangan tak banyak yang menggunakan sekat tembok. Beberapa ruangan bahkan dihubungkan dengan jembatan bambu yang dibawahnya dihiasi kolam ikan. Rumah unik nan megah ini tampak begitu sejuk dan asri.

Di pojok rumah, terdapat gasebo indah dengan bahan kayu limbah. Sedangkan dari sisi luar, tampak tembok pagar warna oranye berhiaskan roda-roda dokar. Ada yang ukuran kecil, ada pula yang ukuran besar. "Rumah ini selain yang utama untuk tempat tinggal sekaligus juga merupakan kantor dan showroom".
Menurut sang pemilik rumah, gaya desain arsitektur keseluruhan memang sengaja mengambil konsep model kontemporer. Hanya saja untuk komponen bahan-bahannya sengaja menggunakan bahan alami. "Bahan yang dominan saya pakai untuk membangun rumah ini ada 2 yakni batu bata dan kayu limbah. Bahan tersebut saya dapatkan dari lokal Yogya saja," ungkap bapak 3 putra ini.

Bagi Aris Susanto, dalam membangun rumah ia tidak mau asal jadi. Semua harus dipertimbangkan dengan matang. Antara rumah dan aktifitas bisnisnya semua harus menyatu. Hingga lahirlah konsep rumah yang sekaligus juga sebagai kantor dan showroom furniture.

"Saya membangun rumah ini pasca bencana gempa tahun 2006. Model pembangunannya gambar jalan yakni sedikit demi sedikit hingga selesai secara keseluruhan," jelas warga Kweni Panggungharjo Sewon Bantul ini.
Rumah yang menempati tanah seluas kurang lebih 1000 m2 ini juga tampak asri dengan beberapa spot taman yang sengaja dihadirkan di dalam kompleks rumah. Ruang terbuka berupa taman ini menambah sejuk suasana rumah.


Rumah yang didesain 3 lantai ini untuk lantai dasar diperuntukkan sebagai showroom dan kantor. Kemudian lantai 2 khusus untuk tempat tinggal. Di lantai 2 ada ruang keluarga, ruang tamu, ruang belajar, ruang santai anak-anak dan ada 4 kamar.

"Limbah kayu yang saya gunakan untuk membangun rumah ini antara lain dari bantalan rel kereta api yang sudah tidak terpakai lagi. Contoh aplikasinya saya pakai untuk membuat gasebo dan pintu gerbang. Limbah kayu jati saya pakai untuk membuat tiang lampu, kemudian limbah akar saya buat jadi kursi dan meja".